I am the master of my fate. The captain of my soul (Invictus)
Sudah setahun terakhir ini, aktivitas (bekerja) saya mungkin agak nyeleneh’ dari biasanya. I was no longer a journalist or TV worker (which, used to be my so called passion). No longer a corporate slave since I ditched my previous job as Corporate Communication in a holding company. Suka banyak yang tanya, aktivitas sekarang, apa?
Kadang bingung jawabnya. Masa harus disebut semua. Ya dosen, ya bakul tas-nya Nyai Indonesia, ya kerja juga. Biasanya pertanyaan berlanjut, kerja apa, dimana, jadi ngapain aja tuh, kamu jadi apa? 😀 .
Picture above: self weapon of being mobile 😛
Aktivitas sekarang ini memang berbeda 180 derajat. Melenceng dari ambisi semula yang (tadinya berniat) akan sepenuhnya jadi pekerja TV, atau akan berlama-lama jadi communication professional. Yang jelas, saya banyak belajar disini. Otak rasanya berputar dan terus ditantang berpikir atas masalah demi masalah. Ada yang menyayangkan, kok kerjaan sebelum ini dilepas begitu aja. Padahal apa yang kurang?
Iya, apa yang kurang?
Let me put it this way. Now I’m happy just the way it is. Hidup adalah pilihan, dan saya punya pilihan serta kekuatan untuk memilih. Saya masih bisa beraktivitas, mandiri dan berdikari, berkarya dan berdaya, tapi kita menjadi majikan untuk waktu kita sendiri. That’s priceless. Saya bisa mengatur kapan saya mau meeting, kapan saya harus tiba di rumah, kapan saya harus ngebut selesaikan tenggat pekerjaan.Trust me, it’s beyond happy. Yang juga menyenangkan, this is nearly like mobile office. (well, sometimes :D). Hop from one place to another. Travel to one city to another. I can be creative creating something. Bertemu dan menjalin network dengan orang dan institusi. Meski adakalanya stress melanda akibat sejumlah target pekerjaan yang menjadi tolak ukur output.
Ada kalanya saya merasa kehabisan waktu, apa yang harus saya kerjakan gak selesai-selesai rasanya. Tapi itu hakikat bekerja dan beraktivitas toh? Pasang surut itu tidak bisa dielakkan. Mau enak masa susahnya gak mau? Simpel. Kerja kan gak dimaknai sempit. Datang ke kantor, ketik-ketik, makan siang, pulang. Itukah bekerja? Apa kerja dimaknai dengan ID card yang tergantung di leher semata, atau dimana kamu bekerja dan apa jabatanmu? . Semua proses yang membuat kita produktif, itu kerja juga kan?
Jika dulu atribut dan jabatan penting buat saya. Sekarang, saya gak peduli. Lepaskan dulu atribut soal uang dan jabatan. Karena saya percaya sepenuh hati, rejeki akan mengikuti (klise yeee). Kalau tujuan kita cari kerja semata-mata hanya uang, ya kita cuma dapat uang dan capek. What about self-fulfillment? That is the currency nowadays. At least for me.
Rasanya pencarian soal makna passion dan purpose in life, bermuara disini. Meski saya yakin, akan ada self discovery lain dalam perjalanan saya ini. Saya gak mau berhenti. Ini bukan soal pekerjaan semata, tapi kumpulan aktivitas-aktivitas apa yang saya lakukan dan membuat saya bahagia. Dan saya gak mau membatasi diri saya. Bahwa karena saya suka A, maka sepertinya karir saya digariskan luruuuus di A. Fear, shall go away. I just want to surrender my self to whatever journey lies ahead, without any self-limitation.
Yang jelas, yang saya lakukan sekarang amat membahagiakan. Bahkan perlahan-lahan, nominal yang saya dapatkan melebihi apa yang pernah saya dapatkan sebelumnya. Saya anggap itu bonus, buah komitmen dan disiplin pada apa yang kita kerjakan. Sekecil apapun. Gak takut resiko? Ah, nyebrang jalan aja ada resiko. Bukan, begitu bukan?
Semua bukan soal uang. Memangnya mengajar dan jadi dosen, bayarannya besar? *nyengir*. Bahkan saya dan suami pernah juga memberi workshop, tanpa dipungut bayaran. Kenapa mau? Saya sama suami percaya, ilmu itu harus dibagi, itu pahala.
Pelan-pelan saya tersadarkan, bahwa empowering orang dan lingkungan kecil sekeliling kita, itu menjadi purpose in life secara perlahan-lahan. Kenapa? Karena membahagiakan. Gak usah bicara muluk-muluk, misalnya mengubah nasib mereka. Melihat mereka yang kita bagi ilmu senang, lantas berterimakasih sama kita, merasa mereka jadi sedikit lebih ‘pintar’, itu bahagianya berlipat-lipat. Meski gak dipungut bayaran, pintu rejekinya gak berhenti disitu. Ibarat echo, itu memantul-mantul, rejeki datang dari pintu lain. Sankalpa.
So, have you find yours?